Selasa, 24 Juni 2014

Suku Dayak Tamambaloh Kapuas Hulu(Multikultural)

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
         Pertama-tama perlu di kemukakan bahwa  masih banyak di antara masyarakat awam kita yang mengartikan “kebudayaan” sebagai “kesenian”, meskipun sebenarnya kita semua memahami bahwa kesenian hanyalah sebagian dari kebudayaan. Hal ini tentulah karena kesenian memiliki bobot besar dalam kebudayaan, kesenian sarat dengan kandungan nilai-nilai budaya, bahkan menjadi wujud dan ekspresi yang menonjol dari nilai-nilai budaya

      Dan di tengah Maraknya arus Globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara  cara tertentu membuat Dampak Positif dan Dampak Negatif nya sendiri Bagi Bangsa Indonesia. Terutama dalam Bidang Kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai – nilai Budaya kita oleh pengaruh budaya Asing yang masuk ke Negara kita. Oleh karena itu,kita perlu mengetahui budaya yang ada di daereh kita masing-masing.Salah satu budaya yang disajikan di sini adalah budaya dayak Tamamabalo.
B.Masalah
1.Dimakah Letak dan arti dayak Tamambalo?
2.Bagaimana tata cara upacara perkawinan dayak Tamambalo?

C.Tujuan
1.Mengetahui letak dan arti dayak tamambalo.
2.Pembaca mengetahu tata cara upacara perkawinan dayak tamambalo.

C.Manfaat
Diharapkan pembaca mengetahui berbagai hal mengenai kehidupan masyarakat dayak tamambaloh,mulai dari asal tempat hingga acara-acara adat lainnya.



BAB II
PEMBAHASAN
DAYAK TAMAMBALO

A.LETAK DAN ARTI  DAYAK TAMAMBALO
Dayak Tamambalo adalah kelompok masyarakat yang umumnya terdapat di Kecamatan Embaloh Hulu dan Kecamatan Embaloh Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu. Kelompok masyarakat ini biasa juga dikenal dengan sebutan Dayak Embaloh. Penamaan ini hakikatnya diberikan oleh orang luar dan juga dalam catatan administrasi pemerintah (sebelum pemekaran).
                     Masyarakat dayak tamambalo (piang bawang)
Dengan demikian istilah Embaloh dan juga Banuaka’ adalah istilah yang keliru untuk kelompok subsuku ini.Sedangkan istilah Embaloh itu sendiri adalah nama sungai yang memanjang dari utara dekat Perbatasan Malaysia, hingga ke Sungai Kapuas.
 Dayak Tamambalo jika diperhatikan dari aspek budaya, sejarah asal-usul, adat-istiadat, dan bahasa yang dituturkan banyak memperlihatkan kemiripan dengan subsuku Dayak Taman,DayakKalis, juga Dayak Lau'. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika keempat subsuku ini terkadang dikelompokkan atau sebagai bagian dari dalam kelompok subsuku Dayak Taman dengan istilah Taman Kapuas–Mendalam untuk suku Dayak Taman yang bermukim di DAS Kapuas dan Sungai Mendalaam. Taman Kalis untuk Dayak Taman yang bermukim di Sungai Kalis. Sedangkan Taman Apalin dan Dayak Tamambalo untuk menyebut kelompok subsuku Dayak Taman yang bermukim di Sungai Embaloh dan Sungai Palin.
 Rumah Betang DIPANIMPAN BOLONG salah satu kediaman suku Dayak Tamambalo di Kabupaten Kapuas Hulu
Beberapa ahli linguistik, seperti James T. Collins (t.th) dan Hudson (1983)mengelompokkan keempat bahasa yang dituturkan subsuku tersebut di atas dalam kelompok bahasa Tamanik. Para penutur bahasa-bahasa ini umumnya dapat saling paham dengan baik. Dayak Embaloh jika dilihat dari aspek sejarah, menurut penuturan para tetua.

Menurut para tetua adat di beberapa kampung orang Dayak Tamambalo yang dikunjungi dalam penelitian ini, dulunya merupakan kelompok mayoritas di kawasan utara ini. Mereka menguasai hampir seluruh kawasan bagian utara di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu pada saat ini hingga ke Perbatasan Malaysia, terutama sungi Embaloh yang biasa meraka sebut dengan sebutan sunge tamambalo.
Namun atas desakan musuh dari peristiwa kayau-mengayau, akhirnya kelompok masyarakat subsuku Dayak Tamambalo ini terkonsentrasi bermukim di sepanjang Sungai Embaloh, Sungai Palin, dan Sungai Lau’ yang semuanya masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Embaloh Hilir dan Kecamatan Embaloh Hulu yang lebih dominan.

B.TATA CARA PERKAWINAN ADAT DAYAK TAMAMBALALO
1.    Upacara  Adat Perkawinan Dayak Tamambalo
 Upacara perkawinan masyarakat tambaaloh diawali dengan meminang. Dalam hal ini laki-lakilah yang meminang. Sebelum meminang keduabelah saling pihak bertanya terlebih dahulu. Kalau ada kecocokan dan sama-sama mau, dan apabila sudah matang pembicaraan baru meminang. Alat pengikatnya adalah kain dan cincin. Dalam meminang sudah tak diperbolehkan ingkar. Kalau ada pihak ingkar maka yang bersangkutan mendapat hukuman. Hukum Buangan Tunang. Dalam hal ini barang antaran tak boleh diambil dan pihak yang ingkar dihukum denda senilai barang antaran. Masih ada hukuman tambahan yakni yang bersangkutan dilepaskan dari kepemilikan harta warisan bersama (keluarga batih)." Papar Drs.Rafael Salaan (67), tetua Dayak Tamambaaloh panjang lebar kepada KR.
Apabila ada kesepakatan maka pihak yang sudah saling menyukai akan melangsungkan perkawinan di gereja. Malam harinya atau beberapa hari berdasarkan hasil kesepakatan dilangsungkan Upacara Adat atau Perkawinan Adat. Upacara ini biasanya dilangsungkan malam hari karena sekaligus dilanjutkan pesta. Seusai itu maka mereka dihantar ke tempat tidur.
Disana, mempelai perempuan telah menanti bersama kawan-kawan pemudi. Sang mempelai priapun tidak datang sendiri, melainkan masuk dengan kawan-kawan lelaki.Tak lama kemudian ada tetua membawakan/membacakan sastra. tujuannya agar tidur sepasang mempelai nyenyak. Sastra dimaksud adalah sastra indah bahasa tinggi yang disebut baranaangis.
Malam itu, kedua mempelai tak diperkenankan tidur. Sebab keduanya harus ikut menari dan berdendang. Upacara Perkawinan dilangsungkan esok paginya. Ada prosesi adat Sijaratan yang harus dilalui. Upacara Sijaratan mesti dilakukan saat matahari naik. Berkisar jam 09.00-10.00 atau sebelum jam 12 siang."Untuk upacara ini ada peraturan tidak boleh malam atau sore." pesan Rafael Salaan, mantan Camat Pontianak Selatan ini dan kini masih berdomisili di Pontianak.
   
 Tarian adat dayak tamambalo
Sijaratan itu artinya saling mengikatkan Tali Akar Tanang. (Si-artinya saling. Jaratan, mengikat). Akar Tanang ini adalah akar yang kuat. Tidak boleh diganti dengan tali lain seperti nilon atau benang. Akar Tanang ini sebenarnya untuk pengikat manik-manik (tolang manik). Teknisnya, tentu saja pihak yang mengikatkan adalah orang lain, bukan kedua mempelai. "Orang lain inipun ada syaratnya." Kata Salaan bernada peringatan.                
Dijelaskan bahwa orang lain dimaksud adalah orang pilihan yang sudah ditunjuk. Apabila yang menikah kaum bangsawan(tetua adat) maka yang mengikatkan adalah sepasang suami istri orang terpandang yakni Anak Maam.                                                                          
      Pada saat pengikatan tali Akar Tanang dilangsungkan juga Baranaangis. Dilakukan oleh

perempuan ahli. Teknisnya, kepada mempelai laki-laki yang mengikatkan adalah pasangan istri, kepada mempelai perempuan diikatkan oleh suami dari pasangan bangsawan itu sendiri.
      Sebaliknya apabila Anak Maam (Ulun Maam) yang menikah maka yang mengikatkan Akar Tanang dengan biji manik adalah bangsawan tulen/murni/tutu (Sepasang bangsawan). Bukan janda atau duda, tidak pernah kematian anak dan tidak sedang pisah ranjang apalagi bercerai. Dalam hal ini "derajat" Anak Maam diperoleh karena kehidupannya berada, tidak pernah melanggar adat, tutur kata sopan santun, kesemuanya jadi buah bibir di masyarakat untuk dicontoh atau diteladani. Yang bersangkutan juga mesti ringan hati serta ringan tangan menolong orang yang mengalami kesulitan.
       Makna lain dari tali (Sijaratan) adalah lambang ikatan menjadi suami istri secara resmi menurut adat Dayak Tamambaaloh. Perkawinan ini diharapkan abadi, tak terceraikan.
       Prosesi Sijaratan biasanya diiringi pembacaan sastra. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah wujud doa atau mendoakan perjalanan hidup kedua mempelai supaya berumur panjang, murah rejeki hingga pasangan itu menghadap Pencipta-Nya. Kehidupan dan kematian bagi warga Dayak Tamambaaloh laksana perjalanan matahari terbit hingga terbenam (matahari atau mataso dalam bahasa Tamambaaloh).
       Lain lagi apabila komunitas Tamambaaloh menikah dengan orang diluar Dayak Tamambaaloh. Berlaku Adat Pamae' Batang Tamambaaloh, Pamae' Mambangan orangtua si gadis serta Pandaakap Kawan Sundaaman (Pamae' = pembuka dan Pandaakap Kawan Sundaaman artinya merangkul kaum keluarga istri agar anak mereka (generasi mereka kelak) Na'an Subaali maksudnya tidak terlepas kepemilikannya atas harta serta tanah perladangan. Maksud kata Pamae' (Pembuka) agar pendatang dimaksud tidak assaoe (kuwalat).
       Perkawinan bagi Dayak Tamambaaloh tampak banyak syarat dan melewati proses panjang. Bukti bahwa masyarakat Adat Dayak Tamambaaloh memiliki sistem kekerabatan yang khas.

2.Upacara Adat Siala Palak Asu Dayak Tamambalo

       Subsuku Dayak Tamambaloh adalah komunitas masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Secara berkelompok mereka mendiami beberapa wilayah di aliran Kecamatan Batang Lupar dan Kecamatan Embaloh Hulu, Sungai Palin di Kecamatan Embaloh Hilir, dan Sungai Peniung Kecamatan Kalis.
       Sama dengan subsuku Dayak lainnya, Komunitas Dayak Tamambaloh juga memiliki adat dan tradisi yang mengatur tata krama, pergaulan, dan segala persoalan kehidupan. Bagi mereka, tradisi dan adat hidup adalah ciri dan identitas untuk terus dilaksanakan yang beberapa diantaranya masih dapat ditemui hingga hari ini. Salah satunya adalah Adat Siala Palak Asu.
        Dalam bahasa setempat, adat ini mengatur soal perkawinan yang salah, dalam arti bahwa pasangan yang melaksanakan perkawinan tersebut sebenarnya dilarang/tidak boleh. Karena perkawinan bagi masyarakat Dayak Tamambaloh adalah suatu peristiwa yang sakral sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat istiadatnya.
      Tidak hanya gereja yang ada larangan dalam hal perkawinan. Namun adat juga mengatur hal-hal yang dilarang dalam perkawinan itu,” ujar Pius Rantap, selaku Kepala Adat Desa Ulak Pauk, Kecamatan Embaloh Hulu, saat dihubungi KR pada pekan pertama April 2009 yang lalu.
      Berdasarkan pemaparannya, perkawinan yang mutlak dilarang menurut Komunitas Dayak Tamambaloh ini adalah perkawinan antara saudara dengan saudara, perkawinan antara
paman,keponakan,perkawinan antara bapak/ibu dengan anaknya, dan perkawinan antara kakek/nenek dengan cucunya.
       Ketika beberapa ketentuan larangan mutlak itu dilanggar, maka pasangan ini akan dikenakan sanksi Adat Marabor Banua atau Kudi. “Adat Marabor Banua adalah adat untuk membersihkan kampung halaman akibat perbuatan yang melanggar itu,” ujar Rantap. Dulu, hukum adat Marabor Banua ini berupa hukuman rajam. Namun, seiring perkembangan jaman, sanksi rajam itu tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya pelaku dihukum untuk menyerahkan seekor babi tanda saut banua (pembersih kampung), sedangkan penebus/pengganti nyawa yakni dengan membayar jumlah Kaletao 12 x gram emas.
        Adapun, bentuk perkawinan yang secara khusus dikenakan sanksi Adat Siala Palak Asu ini adalah perkawinan antara saudara sepupu/keturunan tingkat kedua (sanak toa). Perkawinan semacam ini sengaja dilarang karena berbagai pertimbangan. “Pelarangan itu bukannya tanpa alasan. Namun berdasarkan pengalaman, ketika perkawinan seperti ini tetap dilaksanakan, maka anaknya akan menjadi bodoh, cacat dan sebagainya,” jelas Rantap memberikan alasan. Untuk melaksanakan adat Siala Palak Asu, keterlibatan para tokoh adat kampung sangatlah tinggi. Mereka (para tokoh adat itu) akan sesegera mungkin memanggil pasangan yang masuk dalam kategori perkawinan yang di larang itu (perkawinan sanak toa) untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di depan para tokoh adat kampung.                                                                                               
      Dalam proses pemanggilan itu, pasangan yang melanggar tidak serta merta langsung membayar hukuman adatnya. Melainkan harus didiskusikan terlebih dahulu melalui musyawarah mupakat untuk penentuan hari pelaksanaan adat nantinya. Dan ketika hari pembayaran adat sudah ditentukan, maka dilaksanakanlah adat Siala Palak Asu. Biasanya, adat Siala Palak Asu ini dilaksanakan pada malam hari. “Dulu, pelaksanaan adat ini dilaksanakan di Balai Desa.
        Tapi, bagi kampung yang belum memiliki Balai Desa/Adat, pelaksanaan adatnya bisa dilakukan di rumah pribadi Kepala Adat,” papar Rantap. Dalam adat ini, pasangan yang melanggar itu dipersilakan untuk berbicara tentang kejadiannya.
Kadang karena malu, pasangan yang melanggar itu hanya bisa bicara dari dalam kamar.
“Orang tua dari pasangan yang melanggar tidak boleh untuk berbicara. Malahan mereka pasrah dengan keputusan para pengurus kampung,” ujar Rantap.
  Rumah betang dayak  jaman dahulu
 Cara mengambil alat rumah
       Menurut ketentuan adat setempat, orang yang melanggar Adat Siala Palak Asu ini akan dikenakan sanksi adat berupa Kaletao 4 x gram emas. Setelah sanksi adatnya dibayar, acara dilanjutkan dengan makan dan minum ala kadarnya. Dan prosesi adat Siala Palak Asu pun dianggap sudah selesai.Demikianlah tata cara pernikahan pada suku dayak tamambalo.







BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari Penulisan Makalah ini dapat menyimpulkan Bahwa Perubahan Dinamis dan arus Globalisasi yang tinggi menyebabkan Masyarakat kita sebagai bangsa indonesia yang memiliki banyak dan beragam kebudayaan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya peranan budaya lokal kita ini dalam memperkokoh ketahanan Budaya Bangsa. Agar budaya kita tetap terjaga dan tidak diambil oleh bangsa lain. Karena kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya itu dan tidak pula dimiliki oleh bangsa-bangsa asing. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda, yang merupakan pewaris budaya bangsa, hendaknya memelihara seni budaya kita demi masa depan anak cucu.
  B.Saran

Didalam pembuatan makalah ini tentunya masih terdapat banyak sekali kekurangan, maka dari itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna memperbaiki dalam penyusunan makalah saya berikutnya.Marilah kitalestarikan budaya kita sendiri.Jangan meniru budaya yang datang dari luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut