Selasa, 24 Juni 2014

TEORI BELAJAR HUMANISME

TEORI BELAJAR HUMANISME
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization). Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi dirinya.


Dalam dimensi perkembangan fisik, perkembangan individu lebih ditandai oleh perubahan penampilan tubuh dan penguasaan keterampilan gerak (motor skills). Pada masa-masa awal masuk sekolah, antara individu yang satu relatif sama dengan individu lainnya dalam hal perkembangan penguasaan keterampilan gerak. Akan tetapi apabila diperhatikan secara seksama akan dapat dilihat adanya perbedaan kecepatan dan ketepatan penguasaan keterampilan gerak tertentu di antara individu yang satu dengan yang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terdorong untuk bergerak dan tidak dapat bertahan lama dalam satu posisi tubuh tertentu. Misalnya, ada individu yang tidak dapat duduk dalam kurun waktu yang lama tetapi ada pula individu yang bertahan duduk dalam waktu yang relatif lama dari yang lainnya. Pada umumnya mereka cenderung untuk selalu bergerak seperti berlari, melompat, meluncur, memancat, atau berguling. Gerakan mereka cenderung tidak terstruktur atau tidak beraturan karena gerakannya lebih berpusat pada otot-otot gerak besar seperti otot kaki atau otot lengan. Otot-otot gerak kecil seperti otot penglihatan atau pendengaran cenderung tidak mengalami perkembangan yang menonjol pada tahapan perkembangan early childhood.
Keberhasilan seorang anak memasuki lingkungan sosial baru yaitu sekolah, turut dipengaruhi oleh pola asuh yang digunakan orangtua masing-masing di rumah. Oleh sebab itu, sekolah harus mampu membangun hubungan kolaboratif dengan pihak keluarga dengan melakukan kegiatan antara lain.

1)      Bekerjasama dengan orang tua menyiapkan anak-anak untuk memasuki lingkungan sosial di sekolah, membangun kondisi lingkungan rumah yang memungkinkan proses belajar dan pembentukan perilaku di sekolah.

2)      Menginformasikan program sekolah dan kemajuan anak, baik melalui kunjungan rumah (homevisit), kartu laporan kumulatif, ataupun melalui pertemuan khusus antara guru dan orangtua di sekolah.

3)      Melakukan berbagai kegiatan di sekolah yang memungkinkan keterlibatan orangtua berperan secara aktif, seperti acara lomba kesenian, lomba olahraga, atau kegiatan intrakurikuler lainnya.

4)      Sekolah membantu orangtua dalam mengawasi kegiatan belajar anak di rumah, seperti pemberian pekerjaan rumah yang hasil pekerjaan anak di rumah tersebut harus ditandatangani orangtua masing-masing.

5)      Melibatkan orangtua dalam penyusunan program sekolah, seperti melalui komite sekolah atau dewan pendidikan setempat.

6)      Membentuk berbagai organisasi sosial yang dapat mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti penanggulangan kenakalan remaja, atau kegiatan budaya lainnya.

Pada tahapan perkembangan middle childhoods, perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam proses berpikir abstrak konseptuaL


Tabel 2
Tingkatan Perkembangan Kognitif*)
Tingkatan
Usia
Tugas Perkembangan Utama



Sensorimotor
Lahir-2
Pembentukan konsep dari obyek yang

Tahun
bersifat tetap dan kemajuan perilaku secara


reflektif ke perilaku yang terarah (bertujuan)



Preoperasional
2-7 tahun
Perkembangan kemampuan menggunakan


simbol dalam menyatakan obyek di


sekitarnya, dengan ciri berpikir yang bersifat


egosentrik dan terpusat (centered)



Concrete
7-11 tahun
Perbaikan kemampuan berpikir logis dan
Operasional

melakukan sesuatu secara bolak-balik,


dengan ciri berpikir yang tidak terpusat


(decentered), mulai kurang egosentrik, dan


tidak dapat berpikir abstrak



Formal
11 tahun-
Kemampuan berpikir abstrak dan simbolik,
Operasional
Dewasa
serta mampu memecahkan masalah melalui


percobaan yang sistematik



*)Adaptasi dari Slavin (1994:34)


Dengan memperhatikan tugas perkembangan pada tiap tingkatan perkembangan kognitif di atas, dapat dikatakan bahwa mulai tahapan perkembangan middle childhood (mulai usia 11 tahun dan seterusnya) diletakkan dasar-dasar keterampilan mengingat (memory skills), keterampilan kognitif dan metakognitif (cognitive and metacognitive skills), kemampuan memikirkan apa yang dipikirkan (the ability to think about their own thinking), dan kemampuan belajar tentang bagaimana cara belajar (the ability to learn how to learn).
Dalam dimensi perkembangan fisik, terjadi perlambatan perkembangan otot (muscular development) dibandingkan dengan yang terjadi pada tahapan perkembangan early childhood. Perkembangan phisik yang menonjol adalah perkembangan tulang dan kerangka tubuh dengan mengabaikan perkembangan otot. Akibatnya, seringkali individu merasa tubuhnya tidak nyaman apabila berada dalam satu posisi tertentu karena harus banyak gerakan dan latihan untuk penyesuaian kondisi otot terhadap perkembangan tulang dan kerangka tubuh yang sedang berada pada masa peka berkembang. Pada awalnya perkembangan tulang dan kerangka tubuh relatif sama antara individu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi menjelang akhir tahapan perkembangan middle childhood, perkembangan tulang dan kerangka tubuh perempuan lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perempuan lebih cepat mencapai puncak pertumbuhan tulang dan kerangka tubuhnya dibandingkan dengan laki-laki. Hal inilah yang menyebabkan perempuan lebih cepat mencapai kematangan seksual dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi, egosentrik individu menjadi sangat menonjol dalam berperilaku. Di dalam diri individu mulai tumbuh kesadaran bahwa dirinya adalah dirinya sendiri yang berbeda dengan orang lain sehingga cenderung tidak mau dipengaruhi atau ditolong oleh orang lain. Individu mulai berusaha untuk melakukan sendiri segala sesuatu, dan mulai membangun wilayah kepemilikan pribadi. Individu mulai berupaya menyusun dan menemukan konsep diri (self concept) dan jati diri (self esteem atau self identity) berdasarkan standar atau norma yang ditetapkannya sendiri. Itulah sebabnya, pada tahapan perkembangan ini seringkali terjadi pertentangan antara orangtua dan anak di rumah.
Pada tahapan perkembangan adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir. Berpikir formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang; di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik secara induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif (umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
Keterampilan individu menerapkan pola pikir formal operasional di atas sangat ditentukan oleh penguasaan keterampilan menerapkan pola pikir konkrit operasional pada tahapan perkembangan middle childhood. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa keberhasilan individu menguasai dasar-dasar keterampilan berpikir dalam dimensi perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan middle childhood sangat mempengaruhi keberhasilan individu dalam dimensi perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan adolescence. Dengan kata lain, keberhasilan individu dalam kegiatan akademik atau belajar selanjutnya sangat ditentukan oleh keberhasilannya dalam kegiatan akademik atau belajar pada jenjang pendidikan dasar (SD).
Dalam dimensi perkembangan phisik pada tahapan perkembangan adolescence, ciri-ciri phisik dalam proses reproduksi memasuki masa peka untuk berkembang ke arah kematangan seksual yang sesuai dengan jenis kelamin masing-masing individu. Berbagai perubahan postur tubuh dialami oleh individu, dan seringkali menyebabkannya merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitas. Hal ini terjadi karena pengaruh perkembangan hormonal yang begitu menonjol pada bagian-bagian tubuh tertentu.
Dalam dimensi perkembangan sosioemosi pada tahapan perkembangan adolescence, individu mulai menyadari dan menganalisis secara reflektif apa yang terjadi dalam dirinya dan apa yang dipikirkannya. Di dalam diri individu mulai muncul kesadaran perbedaan karakteristik individualnya yang berbeda dengan karakteristik individual orang lain di sekitarnya. Individu mulai mengkaji keberadaan dirinya (tubuh, pikiran, perasaan, atau perilaku) yang berbeda dengan keberadaan diri orang lain. Identitas diri (ego identity) mulai terbentuk dalam diri masing-masing individu.
Ada individu yang berhasil membentuk ego identitynya dengan jelas tetapi ada pula individu yang gagal dalam membentuk ego identitynya. Kegagalan individu membentuk ego identitynya berawal dari kegagalannya dalam merumuskan konsep diri (self concept) secara benar dan tepat. Akibatnya, kegagalan membentuk ego identity ini dapat menyebabkan gangguan psikologis, mulai dari yang bertaraf rendah (tidak tenang, cemas, ragu-ragu, curiga, dan sejenisnya) sampai yang bertaraf menengah (emotional disorders, drug and alcohol abuse, delinquency and violence, dan sejenisnya) serta bertaraf tinggi (penyakit jiwa).
Erikson (dalam Slavin, 1994:54) merangkum tingkat perkembangan personal dan sosial individu seperti dalam Tabel 3 berikut ini. 
Tabel 3
Tingkat Perkembangan Personal dan Sosial Individu
Tkt
Usia
Ciri Psikologis
Hubungan
Penekanan





I
Lahir-18 bln
Trust vs. Mistrust
Keibuan
-Meraih



(Maternal Person)
-Membalas





II
18 bln-3 thn
Authonomy vs.
Kekeluargaan
-Memegang


Doubt
(Parental Person)
-Melepaskan





III
3-6 thn
Initiative vs. Guilt
Keluarga Inti
-Berbuat



(Basic Family)
-Bermain





IV
6-12 thn
Industry vs.
Tetangga/ Sekolah
-Membuat benda


Inferiority

-Menggabung





V
12-18 thn
Identity vs. Role
Teman / Model
-Menjadi diri sendiri


Confusion

-Berbagi dengan orang lain





VI
Awal Dewasa
Intimacy vs.
Sahabat (seks,
Menemukan karakteristik diri


Isolation
saingan, kooperasi)
sendiri dan diri orang lain





VII
Tengah Dewasa
Generativity vs. Self-
Kelompok kerja dan
Saling menghargai dan


Absorption
peran
melindungi





VIII
Akhir Dewasa
Integrity vs. Despair
Mankind”/ ”My
Mengaktualisasi diri sendiri



kind







Berdasarkan karakteristik perkembangan individu pada tiap tahapan seperti dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa pada masa sekolah individu berada dalam proses tumbuh kembang ke arah penemuan jati diri. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran konstruktivisme peserta didik memperoleh kesempatan membangun dasar-dasar bagi keterbentukan jati diri yang sesuai dengan karakteristik budaya di mana mereka hidup. Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki sifat-sifat antara lain:

1)      Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan selalu diperbaharui;
2)      Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu;
3)      Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan orang lain;

Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadipunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut