TEORI BELAJAR HUMANISME
Menurut teori kebutuhan
Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat sejumlah kebutuhan yang tersusun
secara berjenjang, mulai dari kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological
needs) sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization).
Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi diri, yang
oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya sendiri (to becoming
a person). Peserta didik pun memiliki dorongan untuk menjadi dirinya sendiri,
karena di dalam dirinya terdapat kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri,
menentukan hidupnya sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya.
Itulah sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif mengaktualisasi
dirinya.
Dalam dimensi perkembangan fisik, perkembangan
individu lebih ditandai oleh perubahan penampilan tubuh dan penguasaan
keterampilan gerak (motor skills). Pada masa-masa awal masuk sekolah,
antara individu yang satu relatif sama dengan individu lainnya dalam hal
perkembangan penguasaan keterampilan gerak. Akan tetapi apabila diperhatikan
secara seksama akan dapat dilihat adanya perbedaan kecepatan dan ketepatan
penguasaan keterampilan gerak tertentu di antara individu yang satu dengan yang
lainnya. Hal inilah yang menyebabkan mereka selalu terdorong untuk bergerak dan
tidak dapat bertahan lama dalam satu posisi tubuh tertentu. Misalnya, ada
individu yang tidak dapat duduk dalam kurun waktu yang lama tetapi ada pula
individu yang bertahan duduk dalam waktu yang relatif lama dari yang lainnya.
Pada umumnya mereka cenderung untuk selalu bergerak seperti berlari, melompat,
meluncur, memancat, atau berguling. Gerakan mereka cenderung tidak terstruktur
atau tidak beraturan karena gerakannya lebih berpusat pada otot-otot gerak
besar seperti otot kaki atau otot lengan. Otot-otot gerak kecil seperti otot
penglihatan atau pendengaran cenderung tidak mengalami perkembangan yang
menonjol pada tahapan perkembangan early childhood.
Keberhasilan seorang
anak memasuki lingkungan sosial baru yaitu sekolah, turut dipengaruhi oleh pola
asuh yang digunakan orangtua masing-masing di rumah. Oleh sebab itu, sekolah
harus mampu membangun hubungan kolaboratif dengan pihak keluarga dengan
melakukan kegiatan antara lain.
1)
Bekerjasama dengan orang tua menyiapkan
anak-anak untuk memasuki lingkungan sosial di sekolah, membangun kondisi
lingkungan rumah yang memungkinkan proses belajar dan pembentukan perilaku di
sekolah.
2)
Menginformasikan program sekolah dan
kemajuan anak, baik melalui kunjungan rumah (homevisit), kartu laporan
kumulatif, ataupun melalui pertemuan khusus antara guru dan orangtua di
sekolah.
3)
Melakukan berbagai kegiatan di sekolah
yang memungkinkan keterlibatan orangtua berperan secara aktif, seperti acara
lomba kesenian, lomba olahraga, atau kegiatan intrakurikuler lainnya.
4)
Sekolah membantu orangtua dalam
mengawasi kegiatan belajar anak di rumah, seperti pemberian pekerjaan rumah
yang hasil pekerjaan anak di rumah tersebut harus ditandatangani orangtua
masing-masing.
5)
Melibatkan orangtua dalam penyusunan
program sekolah, seperti melalui komite sekolah atau dewan pendidikan setempat.
6)
Membentuk berbagai organisasi sosial
yang dapat mengelola kegiatan-kegiatan sosial seperti penanggulangan kenakalan
remaja, atau kegiatan budaya lainnya.
Pada tahapan perkembangan middle childhoods,
perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan proses berpikir.
Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan perkembangan ini dimulai
dengan hal-hal konkrit operasional, dan selanjutnya ke hal-hal abstrak
konseptual. Apabila individu gagal dalam perkembangan proses berpikir dalam
hal-hal konkrit operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam
proses berpikir abstrak konseptuaL
Tabel
2
Tingkatan
Perkembangan Kognitif*)
Tingkatan
|
Usia
|
Tugas
Perkembangan Utama
|
|
|
|
Sensorimotor
|
Lahir-2
|
Pembentukan
konsep dari obyek yang
|
|
Tahun
|
bersifat
tetap dan kemajuan perilaku secara
|
|
|
reflektif
ke perilaku yang terarah (bertujuan)
|
|
|
|
Preoperasional
|
2-7 tahun
|
Perkembangan
kemampuan menggunakan
|
|
|
simbol
dalam menyatakan obyek di
|
|
|
sekitarnya,
dengan ciri berpikir yang bersifat
|
|
|
egosentrik
dan terpusat (centered)
|
|
|
|
Concrete
|
7-11 tahun
|
Perbaikan
kemampuan berpikir logis dan
|
Operasional
|
|
melakukan
sesuatu secara bolak-balik,
|
|
|
dengan
ciri berpikir yang tidak terpusat
|
|
|
(decentered),
mulai kurang egosentrik, dan
|
|
|
tidak
dapat berpikir abstrak
|
|
|
|
Formal
|
11 tahun-
|
Kemampuan
berpikir abstrak dan simbolik,
|
Operasional
|
Dewasa
|
serta
mampu memecahkan masalah melalui
|
|
|
percobaan
yang sistematik
|
|
|
|
*)Adaptasi
dari Slavin (1994:34)
|
|
Dengan memperhatikan tugas perkembangan pada tiap
tingkatan perkembangan kognitif di atas, dapat dikatakan bahwa mulai tahapan
perkembangan middle childhood (mulai usia 11 tahun dan
seterusnya) diletakkan dasar-dasar keterampilan mengingat (memory
skills), keterampilan kognitif dan metakognitif (cognitive and metacognitive
skills), kemampuan memikirkan apa yang dipikirkan (the ability to think
about their own thinking), dan kemampuan belajar tentang bagaimana cara belajar
(the ability to learn how to learn).
Dalam dimensi
perkembangan fisik, terjadi perlambatan perkembangan otot (muscular
development) dibandingkan dengan yang terjadi pada tahapan perkembangan early
childhood. Perkembangan phisik yang menonjol adalah perkembangan tulang dan
kerangka tubuh dengan mengabaikan perkembangan otot. Akibatnya, seringkali
individu merasa tubuhnya tidak nyaman apabila berada dalam satu posisi tertentu
karena harus banyak gerakan dan latihan untuk penyesuaian kondisi otot terhadap
perkembangan tulang dan kerangka tubuh yang sedang berada pada masa peka
berkembang. Pada awalnya perkembangan tulang dan kerangka tubuh relatif sama
antara individu laki-laki dan perempuan. Akan tetapi menjelang akhir tahapan
perkembangan middle childhood, perkembangan tulang dan kerangka tubuh
perempuan lebih cepat dibandingkan dengan laki-laki, sehingga perempuan lebih
cepat mencapai puncak pertumbuhan tulang dan kerangka tubuhnya dibandingkan
dengan laki-laki. Hal inilah yang menyebabkan perempuan lebih cepat mencapai
kematangan seksual dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam dimensi
perkembangan sosioemosi, egosentrik individu menjadi sangat menonjol dalam
berperilaku. Di dalam diri individu mulai tumbuh kesadaran bahwa dirinya adalah
dirinya sendiri yang berbeda dengan orang lain sehingga cenderung tidak mau
dipengaruhi atau ditolong oleh orang lain. Individu mulai berusaha untuk
melakukan sendiri segala sesuatu, dan mulai membangun wilayah kepemilikan
pribadi. Individu mulai berupaya menyusun dan menemukan konsep diri (self
concept) dan jati diri (self esteem atau self identity)
berdasarkan standar atau norma yang ditetapkannya sendiri. Itulah
sebabnya, pada tahapan perkembangan ini seringkali terjadi pertentangan antara
orangtua dan anak di rumah.
Pada tahapan
perkembangan adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh
perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir. Berpikir
formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai berkembang; di
samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning (penalaran) baik
secara induktif (khusus=>umum) maupun secara deduktif (umum=>khusus).
Dalam menghadapi segala kejadian atau pengalaman tertentu, individu mengajukan
hipotesis atau jawaban sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.
Keterampilan individu
menerapkan pola pikir formal operasional di atas sangat ditentukan oleh
penguasaan keterampilan menerapkan pola pikir konkrit operasional pada tahapan
perkembangan middle childhood. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
keberhasilan individu menguasai dasar-dasar keterampilan berpikir dalam dimensi
perkembangan kognitif pada tahapan perkembangan middle childhood sangat
mempengaruhi keberhasilan individu dalam dimensi perkembangan kognitif pada
tahapan perkembangan adolescence. Dengan kata lain, keberhasilan individu
dalam kegiatan akademik atau belajar selanjutnya sangat ditentukan oleh
keberhasilannya dalam kegiatan akademik atau belajar pada jenjang pendidikan
dasar (SD).
Dalam dimensi
perkembangan phisik pada tahapan perkembangan adolescence, ciri-ciri
phisik dalam proses reproduksi memasuki masa peka untuk berkembang ke arah
kematangan seksual yang sesuai dengan jenis kelamin masing-masing individu.
Berbagai perubahan postur tubuh dialami oleh individu, dan seringkali
menyebabkannya merasa tidak nyaman dalam melakukan aktifitas. Hal ini terjadi
karena pengaruh perkembangan hormonal yang begitu menonjol pada bagian-bagian
tubuh tertentu.
Dalam dimensi
perkembangan sosioemosi pada tahapan perkembangan adolescence, individu
mulai menyadari dan menganalisis secara reflektif apa yang terjadi dalam
dirinya dan apa yang dipikirkannya. Di dalam diri individu mulai muncul
kesadaran perbedaan karakteristik individualnya yang berbeda dengan
karakteristik individual orang lain di sekitarnya. Individu mulai mengkaji
keberadaan dirinya (tubuh, pikiran, perasaan, atau perilaku) yang berbeda
dengan keberadaan diri orang lain. Identitas diri (ego identity) mulai
terbentuk dalam diri masing-masing individu.
Ada individu yang
berhasil membentuk ego identitynya dengan jelas tetapi ada pula individu
yang gagal dalam membentuk ego identitynya. Kegagalan individu membentuk
ego identitynya berawal dari kegagalannya dalam merumuskan konsep diri (self
concept) secara benar dan tepat. Akibatnya, kegagalan membentuk ego identity
ini dapat menyebabkan gangguan psikologis, mulai dari yang bertaraf rendah
(tidak tenang, cemas, ragu-ragu, curiga, dan sejenisnya) sampai yang
bertaraf menengah (emotional disorders, drug and alcohol abuse, delinquency
and violence, dan sejenisnya) serta bertaraf tinggi (penyakit jiwa).
Erikson (dalam Slavin,
1994:54) merangkum tingkat perkembangan personal dan sosial individu seperti
dalam Tabel 3 berikut ini.
Tabel
3
Tingkat
Perkembangan Personal dan Sosial Individu
Tkt
|
Usia
|
Ciri
Psikologis
|
Hubungan
|
Penekanan
|
|
|
|
|
|
I
|
Lahir-18 bln
|
Trust
vs. Mistrust
|
Keibuan
|
-Meraih
|
|
|
|
(Maternal
Person)
|
-Membalas
|
|
|
|
|
|
II
|
18
bln-3 thn
|
Authonomy
vs.
|
Kekeluargaan
|
-Memegang
|
|
|
Doubt
|
(Parental
Person)
|
-Melepaskan
|
|
|
|
|
|
III
|
3-6
thn
|
Initiative
vs. Guilt
|
Keluarga
Inti
|
-Berbuat
|
|
|
|
(Basic
Family)
|
-Bermain
|
|
|
|
|
|
IV
|
6-12 thn
|
Industry
vs.
|
Tetangga/
Sekolah
|
-Membuat
benda
|
|
|
Inferiority
|
|
-Menggabung
|
|
|
|
|
|
V
|
12-18
thn
|
Identity
vs. Role
|
Teman
/ Model
|
-Menjadi
diri sendiri
|
|
|
Confusion
|
|
-Berbagi
dengan orang lain
|
|
|
|
|
|
VI
|
Awal Dewasa
|
Intimacy
vs.
|
Sahabat
(seks,
|
Menemukan
karakteristik diri
|
|
|
Isolation
|
saingan,
kooperasi)
|
sendiri
dan diri orang lain
|
|
|
|
|
|
VII
|
Tengah Dewasa
|
Generativity
vs. Self-
|
Kelompok
kerja dan
|
Saling
menghargai dan
|
|
|
Absorption
|
peran
|
melindungi
|
|
|
|
|
|
VIII
|
Akhir Dewasa
|
Integrity
vs. Despair
|
”Mankind”/
”My
|
Mengaktualisasi
diri sendiri
|
|
|
|
kind”
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan
karakteristik perkembangan individu pada tiap tahapan seperti dikemukakan di
atas, dapat dikemukakan bahwa pada masa sekolah individu berada dalam proses
tumbuh kembang ke arah penemuan jati diri. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran
konstruktivisme peserta didik memperoleh kesempatan membangun dasar-dasar bagi
keterbentukan jati diri yang sesuai dengan karakteristik budaya di mana mereka
hidup. Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik dapat
tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan diri yang memiliki
sifat-sifat antara lain:
1)
Bersikap terbuka dalam menerima semua
pengalaman dan mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang baru dan
selalu diperbaharui;
2)
Percaya diri sehingga dapat berperilaku
secara tepat dalam menghadapi segala sesuatu;
3)
Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa
dalam melakukan segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada bantuan
orang lain;
Kreatif dalam mencari
pemecahan masalah atau dalam melakukan tugas yang dihadipunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar